Saturday, October 24, 2009

Kesurupan

Ahmad Himawan ’81

Memang kuakui bahwa ingatanku tidak terlalu tajam, bahkan sebetulnya ingatanku juga tidak tajam, oleh sebab itu aku tidak bisa mengenang peristiwa ini terjadi ketika Jambore atau Memory Camp, yang pasti aku bersama Hendra (korban dan saksi hidup Bom Marriott 1) dan Beton saat itu sudah lulus dari Smandel.

Layaknya acara kemping tidak terlewatkan tanpa api unggun. Panitia seperti biasa menghimbau peserta untuk mengelilingi sang unggun, pesertapun berkumpul entah takut kepada panitia atau masih norak melihat si unggun. Ajakan itu tidak berlaku kepada kami, maklum kami kan sudah jadi alumni, boleh dong ngerumpi di tenda.

Sebagai senior kami ingin membuat acara yang lebih seru daripada buatan panitia, begini skenarionya: Hendra berpura-pura kesurupan, aku menjaganya sementara Beton memberitahukan kepada panitia bahwa Hendra tengah kesurupan.

Sontak acara kami jauh lebih seru!, beberapa peserta meninggalkan api unggun untuk mengelilingi tenda kami. Abdul Azis '82 yang mempunyai kelebihan sejak kecil untuk menangani masalah seperti ini masuk ke dalam tenda agar dapat menunjukkan kebolehannya. Mulutnya komat-kamit untuk mengusir makluk halus sambil sesekali ditiup-tiupnya muka Hendra. Berhasil tidaknya sepenuhnya tergantung Hendra. Hendra memutuskan Azis berhasil, entah tak tahan menahan geli atau tak tahan ditiup-tiup Azis. Hore! Azis berhasil. Pesertapun kembali ke api unggun.

Permainan kesurupan babak kedua dimulai, Hendra tetap sebagai pelakon kesurupan, Beton si penjaga sedangkan aku mendapat giliran melaporkan ke panitia.

Maaf ya? Sekali lagi acara kami lebih ngetop dari bikinan panitia.Azis lagi-lagi menjadi juru penyembuh. Peserta dan panitia ketipu kok bisa sampai 2 kali padahal katanya anak Smandel pinter-pinter.

Bosan berada di dalam tenda aku dan Beton ikut bergabung di api unggun. Ketika asyik menikmati acara tiba-tiba ada yang memberitakan kesurupan dan ternyata terjadi di tenda kami. Azis masuk ke dalam sementara aku tetap berada di luar, sumpah aku takut!, karena hal ini di luar skenario, artinya bisa saja Hendra kesurupan beneran. Aku bersyukur Hendra akhirnya berhasil disembuhkan.

Aku berdoa agar malam itu tidak terjadi kesurupan lagi, dan doaku terkabul karena semalaman tidak lagi ada gangguan, namun ………. pagi harinya anak kelas 1 sambil memegang golok kerasukan makluk halus di tengah arena, mungkin akibat ulah kami membuat para penghuni halus tersinggung.

Kulihat Azis turun tangan dari kejauhan dengan komat-kamitnya.
“Berarti Azis semakin sakti dong????”
“Nggak juga sebenernya. Lagian siapa sih yang berani nyembuhin orang kesurupan deket-deket kalau lagi megang golok????”

Monday, February 9, 2009

Prison Break

Rosana Harahap ‘81

Kelasku 1 dua berada di lantai bawah, jamanku dulu sekolah hanya punya dua lantai. Seperti pada umumnya, di kelasku ada yang pinter, ada yang genit, dan ada juga yang bandelnya nggak ketolongan.

Pak Midon saatnya mendapat giliran mengajar, Trigonometri kalau tidak salah karena pak Midon yang kuingat tengah membawa pengaris kayu panjang. Seperti biasa pada saat awal kelas penuh dengan murid yang takut kalau-kalau pak Midon mengabsen. Setelah itu ada yang ijin ke toilet dan tidak kembali lagi, berbagai alasan dan cara digunakan, termasuk yang satu ini.



Pemeran utama kali ini Akbar yang berusaha kabur lewat jendela, jurus yang mirip dalam filem Prison Break dipergunakan. Ketika pak Midon asyik menulis di papan tulis sambil menerangkan ke arah sang papan, si Akbar asyik menjalankan misinya, yang membuatku menjadi tegang. Akbar yang mau kabur, kok malah aku yang tegang.

Pak Midon masih asyik menerangkan, aku bersama teman sekelas sedang asyik memperhatikan. Bukan ………….., bukan pelajaran tapi memperhatikan Akbar meloloskan diri dari kelas. Jantungku mulai berdetak keras.


Dag … dig… dug
Pantat Akbar sudah bertumpuh pada tepian jendela
Pak Midon masih menulis dan menerangkan

Dag … Dig … Dug semakin keras
Satu-persatu kaki Akbar mulai berpindah dari dalam lalu keluar kelas.
Pak Midon masih belum jedah menerangkan.

DAG … DIG … DUG makin keras aja.
Kedua kaki Akbar sudah menempel di lantai luar, hanya tinggal merunduk selamatlah dia dari penjaranya.
Pak Midon masih saja terus menerangkan.

YES! Akbar berhasil …….. sorak suara hatiku tepat pak Midon selesai menerangkan dan menengok ke belakang.

Eit, tunggu dulu ……….. rupanya baju Akbar tersangkut jendela ……… tertangkap basah jadinya.

Marah beliau tidak terbendung, Akbar dihardik untuk maju ke depan kelas. Kini dia menjadi murid yang patuh. Sepatuh-patuhnya murid ya Akbar orangnya.

Sekarang dia berhadapan Man 2 Man dengan beliau. Penggaris kayu panjang di tangan kiri sudah berpindah ke tangan kanan pak Midon, bak Samurai Warrior penggaris itu diayunkan. Aku memejamkan mata tapi lupa menutup telinga. “Bletak !!!! Auuu” hanya itu yang kudengar.
“Sakit nggak An???????”
Ya, sakitlah. Orang penggaris itu jatuhnya tegak lurus di kepala Akbar dan suara "Bletak!!!! Auuu" yang kudengar keras banget.

Thursday, February 5, 2009

Raport Geografiku

Cerita angkatan 90

Aku sedang mengikuti ulangan Geografi dengan guru yang suka sekali berzikir dan orangnya baik banget, kalau tidak salah pak Bakri namanya. Setelah memberikan soal pak Bakri mengawasi kami sambil berzikir, bolak-balik ke depan dan ke belakang.

Aku punya kesempatan, kesempatan emas jangan disia-siakan, maka kubuka catatan di bawah meja yang sesuai dengan pertanyaan. Kesempatan pertama berhasil.

Sekarang giliran kesempatan kedua untuk soal berikutnya .............. berhasil juga pembaca.

Foto kompak Angkatan 90
Kesempatan ketiga tiba, jangan disia-siakan itu prinsipku. Ketika membuka catatan, tepat pak guru berada disampingku. Marah? Tidak sama sekali bahkan tersenyum. Pak guru kita senyumpun sambil berzikir.

Di saat lain pak Bakri membuka buku nilai di meja guru, aku duduk di barisan depan bersama Acoy persis di depan meja guru. Sang guru Geografi sembari menjelaskan sesekali berjalan ke belakang kelas. Tanpa basa-basi aku mengambil bolpen dan menorehkan garis sehingga nilaiku yang 6 menjadi 8.

Setelah berhasil kutebar tersenyumku kepada Acoy, siapa lelaki yang tidak tertantang diperlakukan seperti itu. Giliran Acoy meniru kelakuanku. Nilai 6 miliknya sekejap kini menjadi 8. Kini giliran Acoy yang memberikan senyuman balasan.

Foto pengambilan nilai ujian olah raga 81

Tiba saatnya pembagian raport bayangan, aku paling deg-degan takut di samping nilai Geografiku tertulis “Jangan menyontek” atau “Jangan mengganti nilai” atau yang sejenisnya. Ketika sampai ke mata pelajaran Geografi nilaiku tertera 8. Sebegitu mudahnya memperoleh nilai 8 tanpa harus belajar keras.

Astaghfirullah ...
banyak dosa juga dulu aku yah ... ampuni ya Allah ... amin ...

Monday, February 2, 2009

Ketika Gunting Emas tak Punya

Cerita angkatan 90

Sesuai dengan peraturan semua pelajar putra tidak boleh memiliki rambut gondrong, peraturan yang sudah turun-temurun dari nenek moyangnya pelajar Smandel.

Saat upacara bendera di suatu Senin pak Oktav yang memimpin rahazia rambut gondrong, lumayan banyak yang terkena.

Setelah upacara selesai mulailah pak Oktav memperagakan aksinya yang bagaikan orang salon, model yang dipilih adalah model Sesu, artinya model Sesuka-hatinya. Ada yang pitak, ada pula yang grepes.

Begitu giliran Sulis model Sesu tidak bisa diterapkan, gunting yang dipergunakan tidak mempan untuk memotong rambutnya yang gimbal. Konon anak gimbal merupakan keturunan Nyi Roro Kidul, Ratunya Pantai Selatan, sehingga rambut Sulis mungkin memiliki kekebalan.

Semua pasti ada penangkalnya, si Pitung jagoan Betawi saja yang kebal senjatapun punya kelemahan, beliau terkapar terkena peluru emas kompeni. Pasti kekebalan rambut Sulis sirna oleh gunting emas, tapi bagaimana kalau sekolah tidak memilikinya.

Pak Oktav tidak kehilangan akal, konon tukang kebun sekolah punya “sesuatu” untuk menangkal kekebalan seperti ini, disaksikan tukang kebun di kejauhan mulailah pak Oktav memotong rambut gimbal Sulis. Apakah berhasil saudara-saudara? Kita saksikan bersama.

“Kreeees.....” begitu kira-kira bunyi gunting rumput milik tukang kebun yang berhasil memotong rambut Sulis yang gimbal.

(Bonti, terima kasih atas kirimannya)

Saturday, January 31, 2009

Guru Top 80

Liza Soenar ‘81

Pada tahun 1980 aku duduk di kelas 2 IPA 7, pada umumnya gerombolan anak nakal di kelas duduknya di deretan paling belakang. Kali ini aku duduk berdekatan dengan Luci dan Marisa.

Pak Husein mendapat giliran mengajar, apalagi kalau bukan Fisika, mondar-mandir sambil terus menerangkan menjadi cirinya. Sementara bandel menjadi ciri kami, dua hal yang saling bertolak belakang, namun tidak dapat dipisahkan.

Aku menulis di secarik kertas kecil tulisan GURU TOP 80 kemudian kuoleskan lem di belakangnya. Selanjutnya tinggal membuat tantangan siapa yang berani menempelkannya di punggung pak Husein.
Marisa duduk paling kiri

Marisa mendapat giliran pertama dan menyangupinya, singkat kata tulisan GURU TOP 80 menempel di punggung beliau. Ketika berjalan ke depan cekikian bermunculan, makin ke depan makin ramai sampai akhirnya ….. Gerrrrrrrr seisi kelas.

Suara gerrrrrrr sirna seketika, pak Husein muaraaaaaaaah besar walaupun gayanya sedikit lucu. Tidak sulit untuk mencari pelakunya, tersebutlah 3 nama aku, Luci dan Marisa.

Mungkin karena aku dan Luci sangat akrab dengan beliau hanya Marisa saja yang dibawa menghadap bu Hilma, sang Kepala Sekolah.

Di kesunyian kelas pintu terbuka munculah wajah Marisa tengah menangis mendayu-dayu dengan terus menyalahkan aku dan Luci.

Senakal-nakalnya kami pasti semua guru mendoakan anak didik mereka agar sukses di kemudian hari termasuk pak Husein. Mungkin berkat doa beliau tak lama kemudian Marisa memperoleh kontrak iklan dengan produsen obat jerawat yang melambungkan namanya. Marisa menjadi selebriti ternama di negeri ini.

Kenangan bersama Marisa meninggalkan sedikit penyesalan ………… mengapa tidak kutempelkan sendiri tulisan itu di punggung pak Husein.

Everybody screams when I kiss the teacher

Liza Soenar ‘81

Penggalan lirik lagu ABBA memang tidak pernah kulakukan, namun bisa menggambarkan kecintaan kami kepada pak Husein, guru Fisika yang berlogat Sunda kental, sangat lucu dan kamipun dibuat gemas karenanya.




Itulah yang membuat aku bersama Lisa Eka, Novia Luciana, Ario Aranditio mengikuti les atau dalam istilah sekarang bimbingan belajar setiap Minggu pagi di jalan Condet Raya, di rumah Lisa Eka. Kusebut lengkap Lisa Eka karena takut tertukar dengan namaku Liza Soenar.

Setiap kali ingin ulangan kami merayu beliau atau lebih tepatnya sedikit memaksa walaupun tidak sampai terjadi tindak kekerasan, untuk memberikan contoh soal berikut jawabannya. Sudah pasti seluruh kelas 2 IPA 7 akan memperolehnya.




Soal ulangan tidak jauh berbeda, hanya diganti angkanya saja, tentulah satu kelas tidak punya angka merah di Fisika karena tinggal ketrampilan bermain kalkulator yang dibutuhkan, kecuali satu orang yang memang terlalu nakal yang harus tinggal kelas.

Seperti biasa pak Husein membuka sepatu saat memberikan les, beliau duduk sementara kami lebih suka melantai. Tiba-tiba ada yang keluar dari kaos kaki pak Husein. It’s a plane? It’s a train? No…. it’s Superjempolnya pak Husien.

Nggak bandel bukan anak SMA, begitu kira-kira falsafah kami. Siap komandan begitu dalam hati Ario saat kumohon. Laksanakan!

Pak Husein teriak karena kaget dan setelah itu lucunya tertawa bersama selepas Superjempolnya pak Husien tersundut rokok Ario, walaupun mungkin tertawa bercampur malu, jengkel dan teman-temannya.

Untungnya beliau tidak marah dan terus melanjutkan pelajaran. Tuhan, maafkanlah kami sekaligus terima kasih yang memberikan kenangan tak terlupakan bersama pak Husein yang amat kami cintai. Pak Husein, I love you so much!